Profile

Foto saya
Pangkalpinang, Bangka Belitung, Indonesia
Lecturer Accounting Departement Faculty of Economic Bangka Belitung University

'sedikit peran untuk bangsa tercinta'

"konsep-konsep berbau lokal, sebenarnya merupakan sebuah ide, aspirasi, pemikiran, perkembangan yang menambah variasi untuk berkancah di lingkungan global"



Arsip Blog

Kamis, 14 Agustus 2008

OPINI (Publikasi Bangka Pos. Juli 2008)

Silpa & Dilematis Aparatur

Oleh:
Darus Altin
Dosen Tetap Prodi Akuntansi –
Fakultas Ekonomi UBB
(Alumni TOT Standar Akuntansi Pemerintahan, Angkatan IV)

“Sisa Anggaran Terlalu Besar” (Bangka Pos, 24 juli 2008). Jumlah Rp 109 Milyar, merupakan sebuah nilai yang dipandang sungguh fantastis yang tentunya jika digunakan maksimal pasti membawa manfaat yang sangat besar untuk kesejahteraan rakyat. Selisih lebih antara realisasi penerimaan dan pengeluaran selama satu periode pelaporan sebesar Rp 109 Milyar tersebut jelas-jelas menunjukkan bahwa pemerintah kabupaten Bangka yang menggunakan atau menyusun LRA (Laporan Realisasi Anggaran) tersebut kurang memperhatikan unsur penggunaannya (untuk Belanja dan Pembiayaan Pemerintah). Sungguh sangat kita sesali selaku masyarakat yang sebenarnya banyak memperoleh manfaat yang besar rencana-rencana yang tertuang dengan angka-angka rupiah dalam LRA tersebut.

Klasifikasi belanja tepat sasaran
Dalam hal ini, tentunya Silpa terjadi karena belum adanya tindakan maksimal pemerintah yang diasumsikan bahwa pemerintah daerah belum dapat membuat sebuah klasifikasi belanja yang tepat pada sasaran. Itu merupakan asumsi awal bahwa sebenarnya sangat penting membuat klasifikasi belanja terutama untuk belanja modal, pegawai dan hibah. Padahal klasifikasi belanja harus dilakukan pertama kali karena penting diantaranya untuk memformulasikan kebijakan dan mengalokasikan sumber-sumber daya kepada sektor tertentu dalam pembangunan, mengidentifikasi tingkatan kegiatan pemerintah dimana kinerja akan dinilai serta membangun akuntabilitas atas ketaatan otorisasi yang diberikan legislatif, kebijakan, kinerja, analisa ekonomi dan adminstrasi anggaran sehari-hari. Memang tidak ada masalah secara substansi bahwa sisa lebih pembiayaan anggaran yang sangat besar nilainya tersebut, tetap akan dimasukkan pada anggaran tahun berikutnya. Hanya jika melihat kondisi kabupaten seperti yang terlihat pada pemberitaan, seharusnya pemerintah memikirkan yang terjadi, masih banyak hal-hal yang butuh perhatian dan pembangunan pada sektor-sektor tertentu yang harus dibenahi.

Dilematis sikap aparatur
Tolak ukur kinerja pemerintah dalam pembangunan jelas sangat terlihat di mata publik bagaimana minimnya tindakan nyata Pemda Kabupaten untuk menggalakkan pembangunan semata-mata untuk kesejahteraan rakyat. Hal-hal vital, listrik, air bersih, sarana jalan dan prasana lain jika dapat diselesaikan tentunya akan memberikan faedah yang berarti bagi masyarakat. Ada asumsi lain menurut penulis silpa 109 Milyar tersebut bisa terjadi, juga disebabkan sikap ketakutan dari aparatur sendiri jika mendengar kata BPK apalagi KPK, tentu sangat miris. Di satu sisi, pembangunan harus tetap berjalan, tapi di sisi lain takut jika terjadi kesalahan, bisa-bisa kejaksaan beraksi untuk membawa kasus tersebut ke meja hijau. Tentu sebuah dilematis bagi aparatur sebagai penggerak roda pemerintahan. Apalagi sekarang, kejaksaan harus mempunyai target minimal tiga kasus korupsi setiap tahunnya yang harus atau untuk dijadikan tuntutan hukum. Sungguh sangat ironis..
Pernah penulis berbicara dengan teman-teman BPK sewaktu training di Yogyakarta, bahwasannya pemeriksaan yang dilakukan BPK sebenarnya tidak untuk mencari kesalahan, tapi tujuannya untuk perbaikan kinerja pembangunan. Apalagi disadari sangat berat menyusun Laporan Keuangan Pemda (LRA, Arus Kas, Neraca, Calk) yang selalu berganti Permendagrinya, dari Permendagri No. 13 Tahun 2005, yang diperbaharui lagi Permendagri. No. 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Tambah membingungkan aparatur pemerintahan dalam mengelola Keuda tersebut. Memang modal paham Permendagri juga tidak cukup dalam untuk hal ini, apalagi sekarang ada PP. No. 25 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan yang lebih detail walaupun menurut pengakuan Tim dari Komite SAP ini masih terdapat kekurangan dan butuh penyempurnaan. Ternyata Pontianak dengan predikat laporan keuangan tiga tahun berturut-turut dengan opini wajar tanpa pengecualian dari BPK menerapkan pengkonversian Belanja dari aturan Permendagri 13 dengan PP. No 25 tersebut merupakan satu solusi yang dilakukan oleh aparaturnya tentunya dibantu oleh Ahli di bidangnya tersebut. Dari pemberitaan Silpa 109 milyar ini, banyak memberikan pelajaran untuk kita semua, terutama bagi aparatur di Kabupaten/Kota di Indonesia umsetelah umnya dan khususnya di bangka belitung sendiri. Semoga kejadian ini memberikan warna baru dalam pengelolaan keuangan daerah terutama untuk penyusunan Laporan Realisasi Anggaran dan hikmah ini menunjukkan bahwa masyarakat kita dapat semakin cerdas memahami kondisi dan melihat kinerja dari aparatur-aparatur pemerintahan kita. Hal ini, tentunya pelajaran yang berharga bagi pihak pengelola keuangan daerah untuk terus meng-upgrade diri dalam rangka memberikan akuntabilitas dan transparansi bagi publik. Yang pasti PR besar untuk perencanaan agar tidak meleset jauh dari perencanaan yang telah dilakukan yang berakibat terjadinya perlambatan pembangunan walaupun hal tersebut tetap akan dibebankan pada tahun berikutnya. (Publikasi Bangka Pos, Juli 2008)

==================0000=================

OPINI (Publikasi Bangka Pos. Juli 2008)

Keberadaan SIKD & Transparansi Publik
Oleh:
Darus Altin
Dosen Program Studi Akuntans- FE UBB

Berdasarkan PP No. 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah selanjutnya disingkat SIKD merupakan suatu sistem yang mendokumentasikan, mengadministrasikan, serta mengolah data pengelolaan keuangan daerah dan data terkait lainnya menjadi informasi yang disajikan kepada masyarakat dan sebagai bahan pengambilan keputusan dalam rangka perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan pertanggungjawaban pemerintah daerah. Benang merahnya adalah ”Informasi” yang berkaitan dengan APBD, Perubahan APBD dan realisasi APBD Provinsi, Kabupaten, dan Kota; neraca daerah; laporan arus kas; catatan atas laporan keuangan daerah; Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan; laporan Keuangan Perusahaan Daerah; dan data yang berkaitan dengan perhitungan Dana Perimbangan seperti data pegawai dan data lainnya untuk disajikan kepada masyarakat. Bagaimana informasi yang disajikan melalui SIKD di negeri serumpun sebalai kita? Apakah sudah diketahui oleh masyarakat semua informasi tersebut di atas
Memang secara nasional SIKD ini dilaksanakan oleh Menteri Keuangan, namun untuk di daerah penyelenggaraan SIKD dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Walaupun ada ketentuan bahwa penyelenggaraan sistem informasi tersebut untuk Provinsi sendiri paling lambat 3(tiga) tahun setelah PP berlaku, Kabupaten/Kota paling lambat 5 (lima) tahun setelah PP berlaku dan Provinsi/Kab/Kota pemekaran paling lambat 5 (lima) tahun setelah diundangkannya UU Pemekaran Daerah bersangkutan, akan tetapi persiapan sangat dibutuhkan untuk terwujud good governance dengan tujuan akhir adalah harga mati bagi sebuah transparansi dan accountability bagi publik.
Jika kita lihat propinsi tetangga kita (RIAU) bagaimana mereka menganggap SIKD tidak hanya menjadi sebuah wacana namun dengan mengaplikasikannya dengan cara membangun sebuah situs khusus (http://www.kepriprov.go.id/sikd/) demi terwujudnya pemerintah yang bersih dan transparan di mata publik.
Ternyata kondisi saat ini terlihat bahwa tidak selarasnya antara SIMKN (Sistem Informasi Keuangan Negara) dengan SIKD. Dalam arti kata, tidak adanya perimbangan antara keuangan pusat (APBN) dengan keuangan daerah (APBD) (Sumber: Informasi Keuangan Daerah :DEPKEU). Mengapa terjadi demikian? Jawabannya belum maksimalnya penggunaan SIKD di daerah-daerah. Akan tetapi, kondisi tersebut bukan berarti tidak bisa diperbaiki!
Daerah dituntut butuh waktu yang cepat untuk menyampaikan informasi keuangan daerah ke pusat. Jika kita lihat beberapa informasi yang harus disampaikan diantaranya APBD yang setiap tahun anggaran yang harus disampaikan ke Pusat paling lambat tanggal 31 Januari setiap tahun anggaran, Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan, Laporan Keuangan Perusahaan Daerah paling lambat 31 agustus tahun berikutnya dan informasi keuangan daerah lainnya. Semoga negeri serumpun sebalai kita tidak terlalu bermasalah dengan adanya ketentuan batas waktu tersebut atau sebaliknya.
Sanksi tentunya tak bisa ditolak bagi daerah jika terjadi keterlambatan penyampaian informasi keuangan daerah tersebut ke Pemerintah Pusat. Dari peringatan tertulis Menteri Keuangan sampai penundaan penyaluran Dana perimbangan sebesar 25% dari jumlah DAU yang diberikan setiap bulannya pada tahun anggaran berjalan
Menurut pengamatan penulis, selama ini kita tidak memanfaatkan alamat situs propinsi (http://www.bangkabelitungprov.go.id), sebagai media untuk menginformasikan keuangan daerah secara khusus atau kita dapat men-develope-kan sebuah situs tesendiri mengenai keuangan daerah untuk diinformasikan ke masyarakat. Dimana mungkin selama ini pemerintah hanya memanfaatkan media yang lain (seperti CD/Disket atau hard copy dll) untuk menyampaikan informasi keuangan daerah ke pemerintah pusat. Sangat disayangkan kenapa berpikir untuk membangun SIKD ini padahal semua biaya operasionalnya ditanggung melalui APBN. Karena dari sinilah kita dapat melihat bagaimana kepercayaan publik merupakan kekuatan yang sangat mendasar bagi pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahannya. Segala aspirasi dan masukan dari masyarakat sebenarnya dapat kita dijadikan sebagai kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan pada masa yang akan datang. Langkah pertama adalah bagaimana SIKD menjadi sebuah aplikasi yang dapat diterapkan dan tidak hanya menjadi sebuah wacana dari isi sebuah Peraturan Pemerintah (PP) No. 56 Tahun 2005. Sehingga apa yang dinamakan sebuah ’Harmonisasi’ hubungan antar Keuangan Pusat dengan keuangan yang ada di daerah sehingga apa yang diinginkan dari sebuah Laporan Keuangan Konsolidasi dari pengabungan Laporan Keuangan di daerah dapat tercapai dengan baik. Dampak yang dirasakan bagi Negara tercinta, dengan SIKD ini tentunya kepercayaan lebih dari Dunia Internasional, Word Bank, IMF, dan lembaga lainnya terhadap kinerja keuangan daerah dalam mewujudkan pemerintahan yang tranparan dan terjaminnya akuntabilitas bagi publik. Semoga!

======================0000============================

OPINI (Publikasi Babel Pos. Juni 2008)

Belajar dari Bupati Lamongan
Oleh :
Darus Altin
Dosen Prodi Akuntansi FE UBB

Sebuah pencerahan dari sebuah pemberitaan. Seorang bupati yang mungkin dapat dikatakan benar-benar seorang konseptor. Bagaimana tidak?. Sebuah daerah gersang di musim kemarau, dan banjir di musim penghujan. Itulah Gambar lamongan yang diceritakan saat itu belum tersentuh dari sosok bupati sekarang (Media Indonesia, Selasa 10 Juni 2008).
Jika kita kilas balik dengan Kabupaten kita yang ada di Bangka Belitung saat ini, rasanya lebih maju sedikit lah daerah kita dinilai dari berbagai sektor.
Pariwisata Lamongan , yang hanya menonjolkan Wisata Bahari Lamongan (WBL) serta Goa Maharani sangat jauh lebih menarik dengan pariwisata yang saat ini kita punyai, tapi peningkatan PAD 9 Milyar pada tahun 2007 dari WBLnya bisa dibilang angka yang cukup fantastis bagi sebuah daerah yang baru maju dan berkembang.
Investor yang banyak antri pada daerah mereka sungguh merupakan sesuatu yang harus kita jadikan sebuah contoh bagi pengembangan sebuah kabupaten. Jika kita kaji Lamongan, seorang bupatinya hanya berpikir sebuah konsep yang dapat dibilang konsep umum dan dengan cara-cara yang tradisional. Tapi hasilnya sungguh luar biasa.
Dengan hanya ‘menyulap’ suatu daerah kosong menjadi sebuah pelabuhan internasional dengan kapal-kapal besar yang dapat masuk dalam melakukan pertukaran komoditi tertentu. Mungkin satu hal ini yang kurang di Kabupaten kita. Konsep sebuah daerah tentu sangat didukung dengan sebuah solusi transportasi yang harus bertaraf internasional.
Melihat sebentar di kabupaten-kabupaten yang ada di bangka belitung saat ini, tentunya banyak yang masih bisa kita jual ke daerah lain di Indonesia maupun luar negeri. Tapi, kenapa hal ini tidak terjadi? Apa yang salah dengan kita? Apa yang salah dengan bupatinya?. Sekelumit pertanyaan tersebut tentunya bukan hanya sekedar kita jawab atau kita dengung-dengungkan saja. Tapi butuh langkah kongkret dan berdampak langsung bagi masyarakat. Konsep kepulauan bagi sebuah daerah, tentunya secara geografis adalah sebuah daerah yang strategis untuk menjadi maju dan merupakan sebuah keharusan untuk dapat berkembang dan siap bersaing di kancah internasional. Apalagi daerah yang sebagian besar kabupaten di Bangka Belitung merupakan daratan yang dikelilingi lautan yang langsung menghubungkan ke daerah lain atau Negara lain. Strategi lain ternyata, Lamongan dengan sosok Bupati mampu berpikir konsep luar negeri (Malaysia), bahwa SDM lokal yang ada harus mengenyam pendidikan tinggi untuk menggali ilmu pengetahuan sebagai salah satu cara untuk membangun daerah sekembalinya dari pendidikan yang ada di dalam maupun di luar negeri. Karena untuk maju memang hanya dengan ilmu pengetahuan dengan konsep berpikir merubah dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada atau dari yang ada menjadi luar biasa. Jika kita lihat daerah kita sekarang tentunya lebih berbahagia dengan adanya sebuah Universitas yang mampu bersaing secara Internasional, terbukti dengan keberadaannya yang dalam 2 (dua) tahun ini, dari statistik website terlihat bahwa dari berbagai Negara lain (Australia, Canada, Malaysia, Belanda dll) sudah banyak yang mengakses informasi dari keberadaan sebuah Universitas di Bangka Belitung. Pembuktian ini menjadi dasar untuk mengatakan bahwa sebenarnya daerah kita maupun SDM yang ada sebenarnya dapat diandalkan untuk bersaing di kancah lokal,nasional maupun secara global. Sehubungan dengan moment pemkada yang saat ini sedang berjalan, hendaknya dapat menjadikan tolok ukur keberhasilan bagi kemajuan sebuah daerah. Kita tidak akan mungkin dapat menutup mata dengan perubahan-perubahan yang terjadi saat ini, tentunya hal tersebut harus diimbangi pula dengan kekhasan, culture, dan karakteristik yang dimiliki oleh kita saat ini.
Apa yang daerah kita punya saat ini bukanlah sebuah kekurangan yang terus kita akui sebagai sebuah kekurangan. Hendaknya kekurangan dapat menjadi sebuah nilai tambah dalam rangka mengembangkan konsep yang terpadu dengan tindakan real bagi kesejahteraan masyarakat. Tujuan akhir penghargaan yang diberikan bagi bupati teladan di Indonesia (Bupati Lamongan), merupakan sebuah pengakuan bahwa berkarya adalah untuk sebuah kemajuan dengan tindakan-tindakan yang terapresiasi dengan baik dan teraplikatif untuk dirasakan sebagai sebuah hal positif bagi sebuah pembangunan. Semoga! (Publikasi Babel Pos, Juni 2008)

============0000==============

OPINI (Publikasi Babel Pos. Mei 2008)

Kemiskinan & Strategi Pembangunan
Catatan Singkat Untuk 100 Tahun Kebangkitan Nasional
Oleh:
Darus Altin
Dosen Akuntansi FE- UBB

Banyak pemberitaan media yang kita amati sekarang, bagaimana fokus pemerintah dalam mengurangi tingkat kemiskinan dengan terus mendongkrak angka pertumbuhan ekonomi agar kesejahteraan masyarakat dapat tercapai. Walaupun pada kenyataan angka kemiskinan, pengangguran, dan pertumbuhan ekonomi merupakan angka-angka sebagai informasi yang hanya untuk menyenangi hati masyarakat.
Sebenarnya, fakta di lapangan tetap saja menunjukkan masyarakat masih saja hidup dalam situasi dan kondisi yang mungkin dapat dikatakan hanya untuk survive, dan yang penting bisa makan untuk besok pagi.
Memperebutkan Bantuan Langsung Tunai (BLT), (sampai tinggal nafas di ubun-ubun). Sebuah program pemerintah yang dipandang untuk mengambil hati rakyat, demi menutupi kenaikan dari melonjaknya harga minyak dunia. Tentunya sangat miris kejadian seperti ini!
Antrian panjang masyarakat miskin demi mendapatkan satu cerigen minyak tanah bersubsidi, merupakan sebuah pemandangan yang hampir biasa kita lihat dalam era sekarang.
Meninggalnya pasien miskin, karena ada beberapa rumah sakit yang seolah-olah menganggap kesehatan hanyalah untuk kaum borjuis. Kartu Gakin hanyalah sebuah simbol kemiskinan yang terkadang tidak ada artinya untuk kejadian tersebut di atas. Indonesia yang terpuruk semakin tidak mampu untuk bangkit selama 100 tahun berjalan (1908 – 2008). Sebenarnya apa yang salah dengan kita?
Sebuah gambaran, betapa mirisnya kita melihat golongan masyarakat bawah di daerah kabupaten cirebon yang terkenal dengan swasembada pangannya, tapi tetap saja masyarakat makan nasi sisa dari rumah makan, atau makan dengan nasi raskin dengan beras yang berkutu, bau, dan apek. Yang paling lucu, bupatinya malah hanya mengatakan bahwa masyarakat telah dibantu dengan raskin tapi tidak mau berubah. Sungguh tragis, sudah miskin tapi ketimpa tangga. Apakah yang begini yang dinamakan negara mengayomi masyarakatnya?
Perumahan yang mungkin tidak layak untuk dinamakan sebuah tempat tinggal, bagaimana mungkin jika sebuah rumah dengan beratapkan jalan beraspal dengan kokohnya berdiri yang diatasnya bergerak tronton besar mengangkut beberapa ton muatan-muatan yang berlapiskan baja!
Masa bermain, mengenal dan bersuka ria dari keceriaan anak-anak seolah-olah hilang tergantikan dengan bertahan di pinggiran jalan ibukota demi menjual sebuah kemiskinan mengharapkan belas kasihan untuk mengisi perut!
Dikaitkan dengan tingkat pengangguran terbuka pada Juni 2007 mencapai 10,6 juta orang atau 9,8% (dari jumlah penduduk Indonesia) dan angka tersebut jauh lebih tinggi dari level sebelum krisis 1997 yang sebesar 4,7%, sedangkan jumlah penduduk miskin mencapai 37,17 juta orang atau 17,75% dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia. Permasalahan-permasalahan tersebut terkait dengan pembangunan ekonomi bangsa saat ini.
Sekelumit gambaran di atas, sungguh sangat menyedihkan dan miris dalam menghadapi moment 100 tahun bagi Kebangkitan Sebuah Bangsa. Selama ini, memang pemerintah hanya mampu memberikan hasil untuk nilai sebuah kemiskin, tetapi bukan alat untuk menciptakan atau memberikan jalan keluar agar masyarakat keluar dari jurang kemiskinan yang semakin menjorok ke dalam.
Di negara-negara maju, peran pemerintah sebagai fasilitator sangatlah kentara dan tidak setengah-tengah. Sebagai contoh, bagaimana Amerika menjadikan warganya untuk bebas berkreasi dan menciptakan sesuatu baik yang ada maupun yang belum ada. Apakah mungkin ini yang kurang di negara kita tercinta ini?
Jika dikaitkan dengan pembangunan yang ada sekarang ini, pemerintah hanya berfokus untuk mengembangkan yang sudah ada, tapi tidak berfikir untuk menciptakan sesuatu yang belum ada atau memaksimalkan yang ada menjadi sesuatu yang luar biasa.
Seharusnya pemerintah, terutama yang ada di daerah-daerah hendaknya berfikir keras, untuk mengembangkan potensi yang ada di daerahnya. Sekarang yang banyak terjadi, pemerintah-pemerintah daerah hanya berfokus pada pembangunan yang menguntungkan diri pribadi serta golongannya agar dapat terpilih kembali pada pemilihan lima tahun mendatang. Seakan-akan memimpin lima tahun hanya untuk menutup kembali uang yang telah dikeluarkan pada pemilihan sebelumnya. Wacana otonomi daerah seharusnya sungguh-sunguh dimaknai dan menjadi terapan real di lapangan dan tidak hanya merupakan sebuah simbol yang diagung-agungkan. Kita Optimis jika benar dan serius serta fokus dalam menerapkannya pasti terjadi apa yang dinamakan pertumbuhan, kemandirian dan perkembangan sebuah Propinsi atau Kabupaten/Kota yang sedikit demi sedikit berkurang ketergantungan terhadap Pemerintah Pusat!
Strategi yang semestinya diterapkan adalah pengembangan yang terfokus bagi sebuah daerah, apa yang menjadi ciri khas dan karakteristik daerah tersebut hendaklah dapat dijadikan langkah awal untuk memulai.mungkin kecil bagi yang lain, tapi sebenarnya hal-hal jika dimaksimalkan dengan baik pasti akan memberikan manfaat yang luar biasa. Misalkan di babel sendiri, kita fokus saja terhadap perkebunan lada sebagai sektor unggulan, pemerintah sebagai monopolistik pasar (baik harga, pemasaran, produksi pengolahan, sampai kesejahteraan petani diperhatikan), kesejahteraan masyarakat tentu akan tercapai! Seperti yang dilakukan Gorontalo, untuk fokus terhadap pertanian jagung, lampung concern terhadap ubi kayu, pisang bahkan lada hitam. Biarkan Bali yang tetap merajai pariwisata di republik ini, kita cukup sebagai menjadikan pariwisata sebagai sektor kedua setelah lada dan timah! Di negara kita, yang masih kurang saat ini adalah kemampuan sebagian daerah dalam menghasilkan serta meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang akan memperkaya dan memakmurkan masyarakat pada tingkat hidup yang lebih layak! Hendaknya moment Kebangkitan Nasional, menjadi langkah awal bangkitnya sebuah daerah untuk benar dan serius dalam melakukan penerapan sebuah strategi pembangunan di era otonomi daerah dan penurunan kemiskinan yang sesungguhnya tetapi bukan menurunnya berdasarkan data-data angka statistik. Semoga!
(Publikasi Babel Pos, Mei 2008)

====================0000==================

OPINI (Publikasi Babel Pos. April 2008)

Meng-INSENTIF-kan PETANI

Oleh:
Darus Altin
Dosen
Prodi Akuntansi
Fakultas Ekonomi – UBB

Petani sebenarnya merupakan salah satu unsur penentu kemajuan suatu bangsa, apalagi culture atau frame Indonesia sebagai sebuah Negara Agraris yang mungkin sekarang hampir hilang citra tersebut. Jika kita lihat negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Kanada, Uni Eropa, Australia, bahkan Thailand dan vietnam sendiri mampu meningkatkan level kesejahteraan petani setara dengan profesi lain yang hidup dalam masyarakat. (kutipan: Media Indonesia, Editorial 24 April 208).
Kutipan di atas, benar-benar menggelitik bangsa kita, bagaimana tidak. Dengan usia bangsa yang kurang lebih 63 tahun, kunci sebuah kemakmuran ‘Petani’ di negeri ini, hanyalah sekedar dijadikan sebuah simbol Ketahanan Pangan. Kenaikan Harga Pokok Pembelian (HPP) beras/gabah seperti sekarang, ternyata tidak meningkatkan harkat dan martabat kaum petani.
Jika kita tinjau, pemerintah berfikir bahwa dengan menaikkan Harga Pokok Pembelian kedelai, beras, dan hasil tani lainnya itu merupakan salah satu cara untuk memberikan ‘insentif ‘ bagi petani sehingga berdampak bagi penambahan produktivitas hasil tani. Atau pemberian subsidi berupa alat-alat pertanian, pupuk, bibit tanaman itu juga merupakan salah satu ‘insentif’ bagi petani. Hal tersebut memang bukanlah langkah yang salah dari pemerintah! Namun, pada prakteknya masih terdapat pemanfaatan tenaga petani hanya sebagai tukang produksi beras, kedelai, jagung, dan sebagainya. Di belahan Indonesia, terutama wilayah Jawa, banyak petani hanya menjadikan petani sebagai alat bagi segelintir orang yang mengaku dirinya berperan penting untuk kesejahteraan hidup petani. Pada kenyataannya, petani-petani di Indonesia sebagian besar hidup dalam kategori penduduk miskin. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Peneliti-peneliti kita mengatakan hal tersebut dikarenakan adalah kurang terorganisirnya petani, walaupun kenyataannya sudah Himputan Keluarga Tani Indonesia (HKTI), atau terlalu banyak para Eksportir/Importir Indonesia yang justru malah mempermainkan harga pasaran produk-produk pertanian kita, kemudian tumpang tindihnya atau perbedaan masalah pendataan hasil-hasil pertanian (terutama gabah dan beras) sebagai bahan makanan pokok rakyat Indonesia. Ini terbukti.
Misalnya data produksi gabah dan beras yang dipublikasikan oleh Departemen Pertanian, berbeda dengan data yang dikeluarkan oleh HKTI, Perum Bulog maupun BPS. Sehingga data yang terpublikasikan oleh institusi-institusi tersebut jadi membingungkan. (sumber Bali Pos, Artikel, 17 Februari 2007)
Kejadian-kejadian tersebut hanya segelintir informasi yang menunjukkan carut-marutnya kondisi petani di Indonesia tercinta ini. Pekerjaan besar tentunya bukan hanya tugas penting Departemen Pertanian untuk mengatasi hal ini. tapi sinergi yang kuat dari unsur manapun harus dilibatkan supaya tidak terjadinya simpang siur pemberitaan.
Berbicara insentif, tentunya salah satu alat pemuas bagi setiap individu. Jika petani di Indonesia, masih tidak diperhatikan untuk kesejahteraan, sampai kapanpun tetap dalam kondisi yang stagnan. Sebagai contoh di Jepang, saat minat menanam padi mengalami penurunan, para petani memperoleh insentif ketika bersedia menanam padi. Jika panen mereka melampaui target, insentifnya tambah. Kalau ada petani yang mau menanami lahan pertanian nonpadi, insentifnya akan bertambah besar lagi. Insentif tertinggi diberikan apabila para petani padi tersebut menanami lahan nonpertanian yang masih menganggur. Apakah kita berani menerapkan hal seperti itu? Jawabannya sekarang kita tunggu!
Jika pemerintah berani mengambil langkah-langkah lain yang kongkret untuk kesejahteraan petani, mungkin masa-masa yang akan datang, banyak Warga Negara yang berani mengatakan jika Petani adalah sebuah profesi yang menjanjikan atau profesi yang berperan penting dalam memberikan nilai tambah (added value) bagi Pendapatan Negara. Hal tersebut sangat mungkin terjadi, jika komitmen pemerintah yang kuat untuk ‘pemberian insentif’ lebih gencar dilakukan, Indonesia Hijau dengan daerah-daerah/propinsi sebagai bentangan/permadani hijau Nusantara tentu akan terwujud. Anggaran bagi pertanian tentunya harus ditingkatkan. Jika perlu, diberikan insentif bulanan yang minimal ada perannya bagi tecukupinya dapur rumah tangga. Pasti petani akan fokus dan giat untuk memberikan warna baru dengan tujuan Swasembada Pangan seperti yang dicita-citakan. Sebagai negara berkembang, tentunya fokus dengan culture negara sebagai Agriculture Country. Toh, negara-negara maju di belahan Eropa juga menerapkan pola Insentif bagi petani sebagai salah satu cara untuk memakmurkan sebuah bangsa. (Publikasi Babel Pos April 2008)

=======================0000==========================

Rabu, 13 Agustus 2008

OPINI (Publikasi Babel Pos. Senin, 5 Maret 2007)

SDA & LINGKUNGAN HIDUP (Bagai Dua Sisi Mata Uang)
Oleh : Darus Altin

Dosen Program Studi Akuntansi
Fakultas Ekonomi Universitas Bangka Belitung

"Dalam pengelolaan sumber daya alam ini benang merahnya yang utama adalah mencegah timbulnya pengaruh negatif terhadap lingkungan dan mengusahakan kelestarian sumber daya alam agar bisa digunakan terus menerus untuk generasi-generasi di masa depan.” Membahas tentang sumber daya alam, dapat kita bagi ke dalam dua kategori besar, yakni sumber daya alam yang bisa diperbaharui (seperti hutan, perikanan dan lain-lain). Dan sumber daya alam yang tidak bisa diperbaharui, seperti, minyak bumi, batubara, timah, gas alam dan hasil tambang lainnya. Dalam tulisan ini akan kita kaji sumber daya alam berupa hasil tambang dan itu tidak dapat diperbaharui. Membicarakan hasil tambang, tentu timah merupakan salah satunya. Apalagi timah sangat identik dari sebuah ciri khas sebuah propinsi yang bernama Bangka Belitung. Siapa yang tidak kenal negeri kita jika kita katakan merupakan salah satu pulau penghasil timah di republik ini. Namun, berbicara tentang pengelolaan hasil tambang berupa timah itu sendiri, rasanya sangat malu melihat bagaimana permukaan negeri ini yang telah hancur dan membentuk kolong-kolong kecil sehingga membentuk seperti sebuah danau-danau kecil. Apalagi butuh cost yang sangat mahal untuk reklamasi lahan minimal mengurangi dampak buruk pada masa yang akan datang. Siapa yang akan disalahkan? Bukan pertanyaan itu yang mesti kita jawab. Tapi, bagaimana hal seperti itu bisa terjadi dan apa yang mesti kita perbuat untuk memberikan solusi yang terbaik untuk kelestarian sebuah lingkungan hidup. Mungkin, jika dikaitkan dengan kemiskinan dan bagaimana masyarakat harus berpikir untuk mengenyangkan “perut” hal inilah mungkin yang menjadi sebab utama mendorong penduduk menguras alam sehingga merusak lingkungan. Jika kita amati bahwa dapat kita katakan ada hubungan antara jumlah dan macamnya sumber daya alam dengan produk bagi konsumsi masyarakat. Hubungan tersebut terlihat bahwa semakin besar pola konsumsi masyarakat maka semakin banyak pula sumber daya alam yang akan dikelola dan semakin beraneka ragam pola konsumsi masyarakat, maka semakin bermacam pula sumber daya alam yang akan dikelola. Dari permasalahan tersebut di atas, dapat kita telaah dan mungkin harus menjadi pertanyaan bagi kita, mengapa hal seperti itu bisa terjadi? Jawabannya tentu ada pada diri kita masing-masing untuk lebih bersikap arif terhadap lingkungan sebelum lingkungan itu sendiri yang memberitahu kepada kita bahwa setiap bencana alam yang terjadi adalah karena ulah tangan manusia itu sendiri. Kita amati bagaimana sebuah bencana banjir yang terjadi di Aceh & Sumatera Utara yang diakibatkan penggundulan Taman Nasional, Gunung Leuser, Alikodra (7/12/2006) atau di negeri Serumpun Sebalai sendiri, beberapa minggu terakhir terjadinya banjir yang menggenangi daerah Semabung, Pangkalpinang akibat tidak ada lagi yang menjadi penyerap air di daerah sekitarnya. Padahal seperti yang kita ketahui bahwa kawasan hutan memiliki kemampuan dalam mengatur tata air, mencegah erosi dan banjir serta memelihara kesuburan tanah. Berbicara sumber daya alam tentu tak lepas dari peran sebuah teknologi tepat guna untuk sebuah kelestarian lingkungan. Untuk itu, pengusaha harus dapat memilih teknologi dan cara produksi yang bisa memperkecil dampak negatif dari kepada lingkungan. Apalagi jika kita lihat kebijakan penataan ruang daerah dilakukan dengan tujuan untuk mampu menciptakan pemanfaatan ruang wilayah yang berimbang, optimal dan berwawasan lingkungan untuk kepentingan masyarakat luas. Kita tidak dapat menutup mata, bagaimana pemanfaatan teknologi berupa alat berat pada sektor pertambangan, yang secara seporadis membabat habis hutan untuk mencari hasil tambang yang terkadang hasilnya nihil atau 0%. Kepada siapa kita akan bertanggung jawab? Pikirkan apa yang dapat kita tinggalkan untuk generasi mendatang dan apa yang dapat kita katakan kepada mereka. Atau lingkungan hidup yang seperti inikah yang akan kita wariskan kepada mereka?

Akhir dari sebuah permasalahan, tentu akan tuntas dengan adanya solusi-solusi yang mungkin akan ada tindak lanjut ke depannya. Pertama, pemerintah harus lebih giat dalam meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya peranan lingkungan hidup dalam kehidupan manusia melalui pendidikan dalam dan luar sekolah. Kedua, perlunya inventarisasi dan Evaluasi potensi SDA dan lingkungan hidup. Ketiga, meningkatkan penelitian dan pengembangan potensi manfaat hutan terutama untuk pengembangan pertanian, industri dan kesehatan. Keempat, penyediaan Infra Struktur dan Spasial SDA dan Lingkungan Hidup baik di darat, laut maupun udara. Kelima, Perlunya persyaratan AMDAL terhadap usaha-usaha yang mengarah pada keseimbangan hidup. Terakhir, perlunya penyuluhan dan kerjasama kemitraan antara Lembaga Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup dan SDA serta perlunya peningkatan kemampuan Institusi dan SDM Aparatur Pengelolaan SDA dan LH. Karena pembangunan yang baik adalah yang berwawasan lingkungan walaupun terkadang dengan kemungkinan kerusakan untuk ditimbang dan dinilai manfaat untung ruginya dan diambil keputusan dengan penuh tanggung jawab kepada generasi mendatang. Karena generasi yang akan datang, tidak ikut serta dalam proses pengambilan keputusan sekarang dalam menentukan penggunaan sumber daya alam yang sebenarnya kita hanya meminjami dari mereka untuk pembangunan masa kini dengan dampak pembangunan di masa nanti! (Babel Pos, Senin, 5 Maret 2007)






OPINI (Publikasi Babel Pos. Feb 2007)

BUDIDAYA IKAN AIR TAWAR
POTENSI EKONOMI MASA DEPAN

Oleh : Darus Altin
Dosen Prodi Akuntansi
Fakultas Ekonomi
Universitas Bangka Belitung


Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Mungkin sepotong kalimat itu menunjukkan kepada kita bahwa dengan memulai sesuatu akan lebih baik daripada tidak mencoba memberikan sedikit kontribusi yang tanpa kita sadari padahal itu yang terbaik dari diri kita. Berbicara tentang rencana pembangunan bangsa pada jangka panjang dua puluh tahun, salah satunya akan memfokuskan pada perwujudan Indonesia sebagai negara kepulauan yang mandiri dan kuat. Laut dan pulau-pulau di sekitarnya yang akan menjadi kekuatan dari pembangunan nasional itu sendiri. Jika kita sadari, ternyata Provinsi Kepulauan Bangka – Belitung dapat menjadi salah satu sasaran untuk itu. Sesuai dengan UU No. 22/1999, provinsi kepulauan yang terbilang masih muda dengan umur baru menginjak delapan tahun namun memiliki perairan 65.281 Km2 lebih luas jika dibandingkan daratannya yang hanya seluas 16.281 Km2 . Kondisi ini tentunya dapat menjadi fokus pembangunan pemerintah daerah untuk mengembangkan pembangunan ke depannya yang diprioritaskan pada sektor bahari. Perairan yang dibicarakan di sini tentunya mencakup perairan darat maupun laut. Persepsi masyarakat mungkin akan tertuju pada sektor kelautan yang diharapkan akan menjadi salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal ini ditunjukkan dengan hasil ikan laut di provinsi ini pada tahun 1998 sebelum provinsi ini dideklarasikan menunjukkan bahwa total dari volume ikan laut untuk Kabupaten Bangka, Belitung dan Pangkalpinang sebesar 123.046 ton (Sumber: Bangka, Belitung dan Pangkalpinang dalam angka 1998 (BAPPEDA)). Bahkan saat sekarang ada sebagian industri kecil yang telah mengelola ikan laut menjadi makanan khas provinsi ini misalnya diolah menjadi kemplang/kerupuk, abon ikan, ikan asin, dan lain sebaginya.Tidak selamanya subsektor perikanan laut dapat menjadi sumber pendapatan untuk sebuah daerah. Terkadang ada saat tertentu pasti akan terjadi penurunan hasil laut yang dikarenakan kondisi cuaca yang tidak mendukung para nelayan untuk mendapatkan hasil tangkapan berupa hasil laut, apalagi pada saat musim seperti sekarang ini. Mengingat sektor perikanan akan tetap menjadi salah satu sektor unggulan di negeri ini, maka akan sangat tepat jika kita mulai memberi perhatian yang lebih pada sektor perikanan air tawar. Namun apakah budidaya ikan air tawar ini dapat memberikan kontribusi bagi sektor perikanan? Atau mungkinkah subsektor perikanan, khususnya budidaya ikan air tawar akan terus eksis di negeri serumpun sebalai ini? Beberapa pertanyaan seperti tersebut di atas mungkin akan timbul di benak kita. Jawabannya dapat kita lihat sendiri, bahwa pemerintah daerah telah memulai untuk itu dan diharapkan masyarakat mau memulai budidaya ikan air tawar dapat semakin marak seiring dengan memanfaatkan kolong-kolong eks penambangan timah yang tidak terpakai lagi. Walaupun hanya sebagian kecil masyarakat kita telah memulai mengembangkan budidaya ikan air tawar tersebut. Timbul pertanyaan mengapa budidaya ini hanya dilakukan oleh sebagian kecil dari masyarakat kita? Pasti ada masalah atau kendala-kendala yang menjadi penyebabnya sehingga untuk budidaya ini jumlahnya sangat sedikit sekali. Hal ini bisa dikarenakan mahalnya bibit dari ikan air tawar itu sendiri atau semakin mahalnya harga pakan ternak untuk makanan ikan air tawar tersebut, serta kurangnya penyuluhan-penyuluhan untuk menambah keterampilan petani ikan air tawar dalam meningkatkan nilai tambah hasil produksi.Namun jika kita kaji lebih dalam, ternyata ikan air tawar dapat dijadikan salah satu potensi ekonomi masa yang depan dan keuntungan bagi masyarakat sendiri khususnya dalam meningkatkan pendapatan rumah tangga hubungannya dengan pemenuhan hidup sehari-hari. Untuk tingkat lokal sendiri dapat dijadikan konsumsi masyarakat sehari-hari. Jika ada suatu pembelajaran yang baik pasti suatu saat akan menjadi salah satu komoditi ekspor ke luar negeri, seperti : udang, ikan kerapu, kakap merah, kepiting dan cumi-cumi. Dengan memanfaatkan potensi lahan yang masih luas untuk dijadikan tambak ikan atau udang air tawar, secara tidak langsung dapat membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat. Selain itu, lokasi eks penambangan timah minimal dapat sedikit memberikan nilai tambah, jika areal atau lokasi tersebut dapat dikelola dengan baik untuk budidaya ikan air tawar. Apakah semua itu bisa terwujud? Yang pasti tidak ada yang tidak bisa. Asal ada kemauan pasti akan ada jalan keluar untuk memecahkan masalah tersebut. Usaha ini pasti akan terwujud dengan satu tekad dan tujuan untuk membawa negeri ini ke arah yang lebih baik. Dengan perencanaan, pengelolaan serta pemasaran yang baik dari budidaya ikan air tawar pasti tujuan yang diinginkan akan tercapai. Memang ini bukan merupakan PR (Pekerjaan Rumah) pemerintah daerah sendiri. Bantuan pihak-pihak lain tentunya sangat diperlukan untuk keberhasilan program pengembangan budidaya Ikan air tawar ke depan. Kita yakin pihak universitas dan masyarakat tidak akan tinggal diam dalam menyikapi hal ini dan pasti akan berperan aktif jika memang diperlukan. Kerjasama berupa, penelitian, pelatihan keterampilan tenaga kerjanya baik teknis di lapangan maupun manajemen pengelolaan dan pemasaran ikan air tawar itu sendiri sehingga tujuan akhirnya dapat tercapai yakni untuk memberikan andil yang besar dalam menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dalam hal ini, memang masyarakat lah yang harus memulai dan mampu membuktikan bahwa Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan wilayah yang tidak hanya unggul dalam pada subsektor perikanan laut namun perikanan air tawar juga harus diperhitungkan. Karena tidak menutup kemungkinan investor dapat beralih ke sektor ini setelah berakhirnya pasca timah. Apalagi letak geografis dari propinsi yang sangat mendukung untuk sarana pemasaran ke luar atau ke dalam negeri. Dari saluran distribusi telah memungkinkan kita untuk berani menerobos pasar-pasar yang ada di luar Babel sendiri. Sarana transportasi laut di propinsi ini telah tersedia dan bisa dikatakan cukup untuk itu. Dengan kondisi-kondisi tersebut di atas, kita yakin investor pasti akan datang dengan sendirinya tanpa harus menunggu dengan alasan kurangnya data dan informasi serta fasilitas-fasilitas yang ada. Kita sangat berharap semoga pimpinan daerah yang akan terpilih pada pilkada nanti dapat menjadikan sektor ini sebagai salah sektor unggulan dalam program pembangunan Bangka Belitung lima tahun yang akan datang.Akankah pada kenyataannya nanti kita dapat menunjukkan bahwa budidaya ikan air tawar memang merupakan salah sektor ekonomi potensial masa yang akan datang di Bumi Serumpun Sebalai sehingga kita dapat berkata memang belum terlambat untuk memulainya dari sekarang. ((Publikasi Babel Pos. Feb.2007)

================000================

(Opini 'Publikasi Babel Pos. Rabu 17Januari 2007')

Andai Ada Tunjangan Komunikasi Rakyat Miskin

KEMISKINAN vs PP 37/2006

Oleh : Darus Altin

Dosen Prodi Akuntansi

Fakultas Ekonomi Universitas Bangka Belitung


Membicarakan kemiskinan di Republik ini, rasanya tidak akan pernah habis bahkan seperti menemui jalan buntu dan sangat sulit untuk keluar dari jalan tersebut. Berdasarkan
laporan yang berjudul Making the New Indonesia Work for the Poor yang diterbitkan Kamis (7/12/06), Bank Dunia menilai meskii telah mengalami kemajuan dalam pertumbuhan ekonomi, saat ini hampir separuh warga Indonesia terpaksa hidup miskin.

Tercatat 108,78 juta orang atau 49 persen dari total penduduk Indonesia berada dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin. Kalangan ini hidup dengan kurang dari 2 dollar AS atau Rp 19.000 per hari.

Gambaran kemiskinan yang terjadi di negeri ini sangat banyak dan beragam sekali, diantaranya, ada seorang nelayan di Pantai Utara, Serang, Banten yang tidak bisa menyekolahkan keenam anaknya dikarenakan biaya pendidikan yang lebih mahal dibandingkan dengan penghasilan seharinya yaitu berkisar Rp 15.000,00 – Rp 20.000,00. atau puluhan warga Desa Prapag Kidul, Kecamatan Losari, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, yang terpaksa harus berebut untuk makan nasi aking (tiwul) akibat mahalnya harga beras, atau ada sebagian masyarakat yang tidak bisa membeli obat karena mahalnya harga obat yang ada sekarang, walaupun dapat biaya rawat inap gratis dengan menunjukkan Kartu Keluarga Miskin.

Sangat ironis sekali, jika kita bandingkan dengan isi PP No. 37/2006 tentang Tunjangan Komunikasi Anggota DPRD di setiap propinsi di Indonesia yang mana akan menambah penghasilan Rp 80 juta dengan jumlah sekitar 15 ribu anggota DPRD di seluruh Indonesia, akan tercatat angka Rp 1,2 trilyun yang akan dikeluarkan pemerintah.

Kita sebagai rakyat yakin bahwa, tanpa penambangan tunjangan tersebut, setiap anggota DPRD daerah telah menjalani hidup yang selayaknya dibandingkan dengan masyarakat-masyarakat golongan minoritas. Sebenarnya pemerintah pasti tidak menutup mata mengenai masalah kemiskinan di negeri ini.

Seandainya PP. 37/2006 tersebut tentang Tunjangan Komunikasi Rakyat Miskin, apakah pemerintah dapat menganggarkan dana 1.2 Trilyun setiap bulannya? Jawabannya pasti tidak akan ada, atau dana 1.2 Trilyun tersebut terlalu besar untuk anggaran rakyat miskin.

Kepekaan Sosial

PP No. 37/ 2006 seharusnya dapat kita jadikan sarana dalam menggugah kepekaan sosial umumnya bagi setiap anggota masyarakat dan khususnya pihak pemerintah maupun wakil dari rakyat itu sendiri. Di tengah kondisi sekarang seharusnya DPRD setiap propinsi dapat merasakan kemiskinan yang dihadapi rakyat. Kepekaan sosial bukan hanya sekedar merasakan penderitaan orang lain, tapi apa wujud nyata bahwa kita telah merasakan apa yang telah dialami oleh sebagian kecil rakyat kita yang dikatakan hidup pada kondisi miskin.

Jika pemerintah tetap menerapkan PP No37/2006 tersebut, maka pihak DPRD harus bersedia dengan hati nuraninya untuk menolak dan mencabut kembali PP tersebut. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dipilih oleh rakyat, dan merupakan perpanjangan tangan rakyat serta menjunjung tinggi dan membela nasib rakyat. Semuanya kembali pada hati nurani individu masing-masing anggota DPRD kita. Rakyat yakin bahwa, masih ada nurani legislatif daerah untuk dapat berpikir mana yang lebih penting untuk kebutuhan rakyat.

Kepentingan Publik

Kita akan merasa bangga dan tidak akan pernah menyesali telah memilih wakil rakyat yang bertugas di daerah, jika ternyata Anggota DPRD kita menyadari bahwa dana 1,2 trilyun yang akan dikeluarkan pemerintah setiap bulannya akan lebih baik jika dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik. Setidak-tidaknya dapat mengurangi jumlah dari penduduk miskin di tanah air.

Bagaimanapun, hal tersebut pasti akan terlaksana dengan baik asalkan adanya kerjasama dari semua pihak yang terkait dalam hal ini rakyat , pemerintah dan anggota DPRD itu sendiri.

Mungkin ada sebagian anggota legislatif kita yang telah memahami dan merasakan kondisi rakyat yang semakin terpuruk dalam kemiskinan. Mudah-mudahan niat tulus tersebut dapat diikuti oleh setiap anggota DPRD kita dari semua fraksi tanpa adanya embel-embel yang lain. Kita dapat melihat suatu perubahan ke arah yang lebih baik, jika ada berani untuk memulai dan itu bukan dari orang lain, tetapi dari diri sendiri.

Kita sebagai rakyat masih bisa berpikir positif dan tetap mendukung apapun yang akan dilakukan anggota Legislatif selama tindakan tersebut semata-mata untuk kepentingan rakyat bukan kepentingan peribadi atau golongan tertentu.

Kita tunggu keputusan akhir yang akan dipilih Anggota Legislatif kita di daerah, kemiskinan atau PP. No. 37/2006! Solusi untuk mengatasi kemiskinan bukan hanya sekedar solusi dengan begini atau dengan cara begitu, tapi yang dibutuhkan saat ini adalah tindakan nyata dan tepat menuju sasaran. SEMOGA. (Publikasi :Babel Pos. Rabu 17 Januari 2007)

=====000=====